Jumat, 26 Agustus 2022

Hamur Mbah Ndut Kedai Kopi Pertama Kampung Heritage Kayutangan



Sepanjang Jalan Basuki Rahmat sejak lama menjadi kawasan ekonomi yang memiliki daya tarik sejarah dengan bangunan lawasnya. 

Koridor dalam yakni kampung dalam gang-gang di sepanjang salah satu jalan vital di Kota Malang ini menyimpan daya tarik tersendiri.

Banyaknya bangunan lawas, warga yang ramah dan santun, termasuk kuliner tradisional yang khas menjadi daya tarik yang layak untuk disambangi dan dijajal, salah satunya Kopi Hamur Mbah Ndut berada di Kampoeng Heritage Kajoetangan yang ditetapkan sebagai kawasan warisan budaya di Kota Malang. 

Menu yang ditawarkan pun tak neko-neko, hanya kopi tubruk, kopi susu, serta sekoteng, juga ada beberapa makanan tradisional seperti onde-onde dengan harga yang ramah di kantong. 

Namun, yang menjadi magnet pengunjung untuk datang ke tempat ini adalah kedai berada di sebuah rumah lawas yang nyaman. 

Bahkan Kopi Hamur Mbah Ndut merupakan warung kopi atau kafé pertama di koridor dalam Kayutangan Heritage.

Pemilik rumah sekaligus pendiri Kopi Hamur Mbah Ndut mengungkapkan sebelum penduduk lain membuat warung kopi, ia mempelopori. 

"Kemudian karena tempat saya ini ramai, mulai banyak warga yang ikut (mendirikan warung kopi). Kalau di sini kan rumahnya juga menunjang ya untuk spot. Ini rumah dari eyangnya istri saya, rumah punden bagi keluarga besar. Memang dari dulu dikenal rumahnya Mbah Ndut, karena tubuhnya gendut,” ungkapnya.

Rumah (dalam Bahasa Malangan Hamur) Mbah Ndut didirikan pada tahun 1923. Rumah ini terletak di Jalan Basuki Rahmat Gang 4 No 938. 

Bangunan beratap pelana ini berukuran 8,5x17,5 meter persegi. Pemilik pertamanya adalah Haji Ridwan dan Mardikyah diteruskan oleh keluarga Saadiyah, dan kini ditinggali dan dikelola oleh Rudi Haris.

Menurut Rudi Haris bangunan ini tetap dipertahankan seperti aslinya. Terlihat dari bentuk dan jendela, demikian juga ubin yang masih berwarna kuning jelas memperlihatkan ciri khas rumah kuno. 

Sederet perabot dan barang antik terpanjang rapi di rumah ini. Mulai dari kursi dan lemari kayu lawas, teko, kaset, telepon, timbangan, tas koper, TV, hingga radio.

“Masih asli dan tidak diubah bentuk rumahnya. Hanya memang bagian depan saja yang ketambahan. Ada kanopi dan toko. Kanopi ini juga sudah cukup lama, sejak 1994. Jadi pertama kali di Indonesia ada kanopi, saya pasang," terangnya.

"Di sini juga ada banyak barang-barang lama, jadi kita keluarkan ke depan. Seperti radio itu dibeli tahun 1961, kwitansinya juga masih ada. Harganya Rp6.900 waktu itu, belinya di Toko Srikandi dulu ada di perempatan situ,” ceritanya.

Rudi mengungkapkan dulunya ia mengelola toko sembako di rumah ini. Namun sejak 2018 kala Pemkot Malang menetapkan kawasan Kayutangan menjadi kawasan wisata, Rudi Harus mulai membuka kedai kopi, karena melihat potensi banyaknya wisatawan yang datang.

Bapak tiga orang putra ini mengaku selalu membiarkan pintu rumahnya terbuka. Pria ramah ini membuka kedainya setiap hari mulai pukul 08.00 WIB dan biasanya akan tutup sementara menjelang magrib dan buka lagi setelah isya. 

Rudi juga bercerita bahwa di awal pembukaan Kampoeng Kajoetangan ini, pernah kedatangan dua orang tamu dari Malaysia yang merupakan penikmat rumah-rumah heritage. 

“Dia buka IG katanya, terus yang muncul rumah saya. Lalu mereka terbang ke Surabaya dan lanjut naik travel ke sini. Saya waktu itu belum buka, masih bersih-bersih, tapi orangnya sudah di depan pagar sini," ujarnya.

"Mereka hanya duduk di lantai selama setengah hari sambil ngopi, sambil saya disuruh bercerita tentang kampung. Lalu langsung pamit pulang ke Malaysia. Jadi dari Malaysia ke Indonesia tujuannya hanya ke sini. Ini menjadi sebuah semangat buat saya," lanjutnya.

"Saya getok tularkan akhirnya banyak pemilik rumah yang membuka pintu rumahnya. Kalau tempat saya ini terbuka, orang mau masuk monggo mau lihat-lihat ke dalam silakan, bahkan mau lihat kamar saya persilakan. Jadi rumah yang paling terbuka ya rumah saya ini,” kenang Rudi.

Rudi pun menyebutkan selain langganan dan wisatawan dalam negeri, juga Wali Kota Sutiaji yang pernah mampir di kedainya dulu sebelum pandemi juga banyak wisatawan dari luar negeri seperti Perancis, Swiss, dan negara lain. 

“Biasanya mereka jalan-jalan ke dalam kampung, trus ngopi di sini. Mereka sampai heran ada kopi seenak ini tapi kok harganya murah, cuma lima ribu. Senang sekali mereka di sini. Biasanya kalau tidak ada tour guidenya, saya ajak orang sini yang bisa Bahasa Inggris untuk bisa bercerita ke mereka,” lanjutnya.

Rumah yang terletak di samping Makam Mbah Honggo ini juga merupakan cikal bakal dan kantor sekretariat Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di Kampoeng Kajoetangan Heritage. Rudi yang sejak muda menggeluti dunia pariwisata ini berharap kampungnya ini dapat menjadi jujugan wisata bagi wisatawan yang melancong ke Kota Malang. (why/n/red-info)

0 komentar:

Posting Komentar